Sabtu, 16 Maret 2013
Petaka Sepak Bola Akibat Kisruh Berkepanjangan
Bicara prestasi tim nasional sepak bola Indonesia, jika melihat kondisi sekarang, seperti pepatah jauh panggang dari api. Masih sekadar mimpi. Jangankan bicara dunia, di level Asia saja tak mampu bicara banyak.
Program yang tak terencana menjadi salah satu biang keladinya. Timnas seakan berjalan tanpa arah. Tak ada pembinaan dan pematangan dalam rencana kerja. Perlukah cetak biru pembinaan sepak bola nasional?
“Jangankan cetak biru, mengatur kompetisi yang sebetulnya bukan masalah sulit saja mereka (pengurus PSSI) tidak bisa,” jelas wartawan senior Media Indonesia, Eko Suprihatno.
“Ingat, tidak ada prestasi yang dilahirkan. Prestasi itu harus dicetak," cetusnya.
Menurut dia, kisruh pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang berkepanjangan menjadi salah satu alasan tak ada “cetak biru” baku yang jadi panduan pengembangan tim nasional. Akibatnya, “Skuat Garuda” tak mampu terbang tinggi. Lebih sering jatuh.
Sementara Ally Mahrus, wartawan Jawa Pos yang lama menggeluti sepak bola dalam negeri, berpandangan lebih moderat. Dia menuturkan, sebenarnya kalau sekadar program, pasti ada. “Tapi kan rusak akibat adanya dualisme kepemimpinan,” katanya.
Tak ada rencana matang juga membuat fenomena gonta-ganti pelatih atau manajemen timnas menjadi kesalahan yang sudah dianggap biasa. Kursi pelatih timnas Indonesia seakan menjadi posisi "panas". Memberi prestasi yang lumayan tak cukup bagi seorang pelatih mendapat jaminan duduk manis di posisinya.
Faktor suka dan tidak suka juga ikut berperan. Contohnya Alfred Riedl. Pelatih asal Austria itu sebenarnya mampu memberi warna dalam permainan timnas. Namun ketika pengurus PSSI berubah. Dampaknya, Riedl pun terusir dari kursi pelatih.
“Dulu Riedl juga dikontrak untuk durasi cukup lama. Tapi dia dipecat karena pengurusnya berubah,” cerita Ally.
Terkait dengan urusan pelatih ini, Eko menambahkan, sering-sering mengganti sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa. Di negara yang sudah maju kompetisinya pun umum dilakukan. “Tapi ketika gonta-ganti pelatih karena selera pengurus, baru namanya masalah,” timpalnya.
Idealnya, bagi seorang pelatih butuh waktu cukup lama untuk melahirkan tim yang kuat. Contoh saja Thailand dan Malaysia. Mereka tak melahirkan "Macan Asia" secara instan. Selain butuh pembinaan, mereka juga memberikan kebebasan kepada pelatihnya untuk menjalankan program, yang biasanya, sudah sejak awal mereka paparkan.
"Seperti yang dibilang Bepe (Bambang Pamungkas-red), idealnya pelatih timnas itu dikontrak dalam waktu lama, karena prestasi tidak bisa datang secara instan. Perlu waktu," imbuh Ally.
Ketika pelatih diganti, serta-merta strategi dan pola latihan ganti. Pemain pun harus menyesuaikan diri lagi.
Sebagai solusi, Eko mengusulkan agar PSSI seharusnya memberikan kebebasan kepada pelatih untuk bereksplorasi. Intervensi harus dijauhkan demi mendapatkan hasil yang maksimal.
“Pelatih itu kan punya kontrak dan ikatan yang jelas. Ada target, ada capaian prestasi, ada hak dan kewajiban,” ungkap pria yang juga dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta tersebut.
Masalah lain yang dihadapi timnas adalah soal pembinaan. Selama ini, pembinaan yang dilakukan PSSI seringkali tak jelas. Bahkan, bibit yang sudah terbukti kualitasnya harus layu sebelum berkembang. Sebut saja timnas U-18 yang sebelumnya juara di Hong Kong, beberapa alumni dari tim tersebut kini tak tahu keberadaannya.
PSSI sempat melakukan gebrakan dengan mengirim tim U-19 ke Uruguay untuk mencicipi kompetisi di sana. Beberapa pentolan dari tim tersebut kini sudah “jadi”. Sebut saja Syamsir Alam yang bermain di DC United dan Alfin Tuassalamony di Vise.
Namun, sekarang semuanya seperti tak terurus. Kabar mereka tak lagi terdengar. Luluh sudah program yang sudah matang hanya gara- kisruh di kepengurusan sepak bola yang berkepanjangan.
sumber ( id.yahoo.com )
0 komentar:
Posting Komentar